Desa Sirukun Banjarnegara: Desa Yang Masih Pertahankan Tradisi Leluhur di Semua Sendi Kehidupan
![header img](https://img.inews.co.id/media/600/files/networks/2025/02/05/aca7e_bucu-sundul-langit.jpg)
BANJARNEGARA,banjarnegara.inews.id - Desa Sirukun adalah desa di kecamatan Kalibening, Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia dan berbatasan dengan Desa Bedana di sebelah barat, kemudian berbatasan dengan Desa Karanganyar di sebelah timur.
Kepala Desa Sirukun Kecamatan Kalibening, Karpi mengatakan Desa Sirukun dikenal sebagai "Desa Seribu Budaya" karena masyarakatnya yang teguh melestarikan adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun. "Tradisi ini tidak hanya diterapkan dalam aspek kehidupan sosial dan kehidupan pribadi tetapi juga dalam sistem pertanian yang sarat akan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal," katanya.
Budaya dalam Pertanian
Pemilihan Bibit: Tradisi pemilihan bibit di Desa Sirukun memiliki makna yang mendalam. Bibit yang dipilih disebut "Mbok Sri Dewi Aminah", simbol padi turun-temurun yang menyatukan adat kuno dengan nilai-nilai Islam. Nama Aminah, yang merupakan nama ibunda Nabi Muhammad SAW, dipilih sebagai bentuk penghormatan dan doa agar panen kelak diberkahi. Saat pemilihan bibit, masyarakat merapalkan doa: "Hei Mbok Sri Dewi Aminah, njenengan kulo pinang dipun paring subur makmur kukuh rahayu nir ing sambikala. Tukul sing tumbras."
Perendaman Bibit : Setelah bibit terpilih, dilakukan perendaman dengan doa khusus: "Nini kaki krowok, kulo nitip wiji sejati ingkang dados kemakmuran. Kulo namung among tani. Sesampuning tukul kulo pundut." Bibit direndam selama tiga malam, kemudian diambil sambil mengucapkan terima kasih.
Penyemaian dan Penanaman : Bibit yang telah tumbuh dibawa ke sawah dengan tata cara yang khas. Petani masuk ke sawah dan mengucapkan salam: "Assalamualaikum kanjeng ibu bumi, kulo niki putune Nabi Adam AS bade nitip bibit sejati. Mugio pinayungono dino pitu rangkep gangsal, sasi rolas tahun wolu windune papat."
Setelah membaca basmallah dan syahadat tiga kali serta ditutup dengan sholawat, bibit siap disebar. Saat menanam (tandur), petani mundur sesuai hitungan hari Jawa yang dipercaya membawa keberuntungan. Mereka menitipkan bibit kepada sawah (ibu bumi) dengan doa: "Assalamualaikum kanjeng ibu bumi, kulo niki putune Nabi Adam AS dinten niki jenjeman, kulo bade nanem wiji ingkang pinaringan asmo Mbok Sri Dewi Aminah ingkang sakmeniko papan panggenanipun wonten tegal kepanasan. Sing nandur kanjeng Rosul, sing nukulaken Allah SWT." Setelah seluruh tanaman tertanam, para petani bersama-sama melantunkan sholawat sebagai bentuk doa dan pengharapan hasil yang melimpah.
Bubur Anton-Anton : Setelah 30 hari, pemilik sawah mengirimkan "bubur anton-anton", yang berisi berbagai bahan seperti bambu ampel, bengle, dan daun imer. Kiriman ini diletakkan di ujung sawah sebagai bentuk pemberian makanan kepada bibit dan hama, dengan harapan agar hama tidak merusak tanaman.
Sidaman atau Memberkati Tanaman : Saat padi mulai berisi (meteng), petani melakukan ritual "sidaman" dengan cara mengunyah gula jawa dan menyemburkannya ke tanaman sebagai simbol penyuburan.
Tradisi Panen
1. Ider-Ideri: Mengelilingi Sawah : Sebelum panen, petani melakukan "ider-ideri", yaitu mengelilingi sawah sambil membawa potongan glagah wangi, janur kuning, dan kayu tua yang diikat dan diletakkan di empat sudut sawah sebagai perlindungan spiritual.
2. Slametan dan Tumpengan : Sehari sebelum panen, diadakan slametan dengan sajian tumpeng "bucu sundul langit" yang berisi nasi asin, lauk teri, kacang brul, dan potongan kulit sapi. Setelah didoakan, makanan disantap bersama sebagai simbol rasa syukur.
3. Legenanan atau Syukuran Panen : Sebagai puncak dari proses pertanian, warga menggelar ritual "legenanan" sebagai ungkapan syukur atas hasil panen. Padi yang telah dipanen dianggap sebagai simbol Mbok Sri Dewi Aminah yang kembali ke rumah dan akan disimpan di lumbung sebagai sumber kemakmuran.
Acara legenanan ditutup dengan ruwat bumi, yaitu pagelaran wayang kulit sebagai bentuk doa keselamatan dan keberkahan bagi seluruh warga. Seluruh hasil panen kemudian dimasak dan disantap bersama oleh masyarakat Desa Sirukun.
Menurut Karpi, tradisi pertanian yang masih dipertahankan oleh masyarakat Desa Sirukun menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya dan spiritual dapat berjalan beriringan dengan kehidupan modern. "Dengan tetap menjaga warisan leluhur ini, Desa Sirukun tidak hanya menjadi desa agraris, tetapi juga pusat kearifan lokal yang memperkaya budaya Indonesia," katanya.
Sebagai "Desa Seribu Budaya", Desa Sirukun menjadi contoh bagaimana tradisi dapat terus hidup dan memberikan nilai bagi generasi mendatang. "Semangat gotong royong dan kepercayaan yang kuat kepada Tuhan, masyarakat terus menjaga keseimbangan antara alam dan spiritualitas dalam setiap aspek kehidupannya," kata Karpi.
Editor : Adel