Dari Pasar Sido Agung Menuju Langit: Simfoni Spiritual Majelis Rasan-Rasan Banjarnegara

GH Cahyono
Gus Khayat saat menjawab pertanyaan dari jamaah majelis rasan-rasan, Senin (7/4)_GH Cahyono

BANJARNEGARA,banjarnegara.iNews.id - Kuasa malam mulai turun dan lampu-lampu pasar satu per satu menyala, Pasar Sido Agung di Desa Kincang, Kecamatan Rakit, Banjarnegara, berubah wajah. Bukan lagi sekadar tempat jual beli, pasar itu menjelma menjadi panggung spiritual, tempat musik, doa, dan dzikir bertaut dalam harmoni yang menggetarkan jiwa.

Malam itu, Senin (7/4/2025), ratusan orang berkumpul di bawah langit yang mulai mendung. Mereka bukan datang untuk berdagang, melainkan untuk menghadiri 'Majelis Rasan-Rasan' sebuah pengajian bulanan yang tak biasa. Sejak pertama kali digelar pada Januari 2025, majelis ini membawa angin segar dalam cara beragama yaitu lebih lembut, lebih hangat, dan lebih mendalam.

Di atas panggung sederhana, 'Kha Jie Rock Band' membuka acara dengan aransemen unik. Mereka memadukan lagu-lagu populer seperti “Bento” dan “Cintaku Bertepuk Sebelah Tangan” dengan sentuhan religi yang menggugah. 

Musik menjadi kendaraan menuju refleksi batin, bukan sekadar hiburan. Bahkan saat lagu “Kucari Jalan Terbaik” dinyanyikan dan hujan gerimis mulai turun, suasana justru menjadi lebih syahdu. Rintik hujan yang membasahi wajah seolah menambah kedalaman lirik, mengajak setiap orang yang hadir untuk merenung.

Namun Rasan-Rasan bukan hanya tentang musik. Di balik alunan lagu, anak-anak kecil melantunkan doa dan sholawat. Suara mereka yang polos dan tulus menjadi pengingat bahwa masa depan agama ini ada di tangan generasi yang mencintai ilmu dan petunjuk Ilahi.

Puncak keintiman malam itu terjadi saat lagu “Cinta Terbaik” dibawakan. Jamaah baik tua maupun muda menyanyi bersama, dipimpin oleh vokalis perempuan dengan suara selembut angin malam. Di antara mereka, tak sedikit yang meneteskan air mata. Ada yang terharu, ada yang merasa disentuh, ada yang menemukan jawaban dalam lirihnya nada dan syair.

Di sisi lain panggung, suasana berubah menjadi lebih kontemplatif saat sesi tanyajawab dimulai. Ini yang membuat Majelis Rasan-Rasan berbeda bukan hanya ceramah satu arah, melainkan ruang untuk berbicara dari hati ke hati. Tiga kiai dari Banjarnegara, KH Khayatul Maki (Gus Khayat), Kiai Abdul Basyir, dan Kiai Abdul Wahid mendengarkan dan menanggapi dengan sabar setiap pertanyaan dari jamaah.

"Apakah ada doa agar bisa jadi orang kaya?" tanya sala satu jamaah. Gus Khayat menjawab dengan kelembutan yang menjadi ciri khasnya. Ia mengajarkan sebuah wirid yang bisa diamalkan dengan penuh harap yaitu Yā Ghaniyyu yā Hamīd, yā Mubdi’u yā Mu‘īd, yā Rahīmu yā Wadūd. Aghnini bi ḥalālika ‘an ḥarāmik, wa bifaḍlika ‘amman siwāk.

"Wirid itu terjemahannya adalah Wahai Tuhanku Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji, cukupkan aku dengan rezeki halal-Mu, dan jauhkan aku dari yang haram. Cukupkan aku dengan karunia-Mu, dan bukan dari selain-Mu." terang Gur Hayat. Doa itu bukan sekadar mantra untuk kekayaan, tapi cermin dari harapan agar hidup penuh berkah dan kebersihan hati.

Sepanjang malam, pertanyaan demi pertanyaan datang, dijawab dengan bijak dan penuh kasih. Rasan-Rasan bukan hanya tempat belajar agama, tapi ruang berbagi keresahan, penguatan jiwa, dan penyembuhan batin. Di sini, agama hadir bukan dalam bentuk ancaman, tapi pelukan hangat yang menenangkan.

Pendekatan Gus Khayat mengingatkan pada para wali tanah Jawa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menyebarkan Islam dengan kelembutan, seni, budaya, dan kedamaian. Melalui musik dan lirihnya dzikir, umat diajak kembali kepada Tuhan, bukan dengan ketakutan, melainkan dengan cinta.

Editor : Adel

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network